Spesialis kedokteran olahraga Antonius Andi Kurniawan berpendapat layanan medis yang mumpuni, mulai dari kelengkapan alat hingga kecakapan petugas, diperlukan untuk meminimalkan kasus kematian mendadak di ajang lomba lari maraton.
Menurut riset di New England Journal of Medicine pada 2012, pelari yang mengalami kematian mendadak paling sering terjadi menjelang kilometer akhir, di sekitar 40-42 km, kebanyakan karena berlari sekuat tenaga menuju garis finis.
Walau kasus tersebut sangat jarang terjadi, ia menekankan pentingnya layanan medis mumpuni di setiap lomba maraton sebagai upaya pencegahan.
Andi juga menjelaskan pelari yang mendadak pingsan sebetulnya memiliki peluang untuk bertahan hidup.
“Mereka yang survive itu ketika ditangani mendapatkan resusitasi jantung paru atau alat pijat jantung, itu kurang lebih 1,5 sampai 1-4 menit (setelah kejadian).
Jadi kalau di bawah 3 menit harus segera diresusitasi jantung paru.
Kalau sudah di atas 5 menit atau 5-9 menit, dia terlambat dan tidak survive,” katanya.
Scientific Chairman di Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO) itu mengatakan kasus kematian mendadak, walau hanya satu pelari, merupakan kejadian luar biasa di dunia medis.
Menurutnya, insiden tersebut cukup tragis mengingat niat awal pelari ingin berolahraga supaya sehat namun yang terjadi justru sebaliknya.
“Kejadian ini juga dramatis dan membuat resah.
Kadang-kadang orang tua kita (memberi nasihat), ‘Kamu tidak usah lari, nanti malah meninggal,’ atau apa segala macam.
Padahal sebenarnya lari itu bermanfaat buat kesehatan.
Jadi, ini yang menurut saya penting banget untuk kita edukasi masyarakat,” jelasnya.
Pedoman medisAndi mengaku ia selalu mengecek kembali pedoman layanan medis berstandar internasional ketika menjadi direktur medis untuk sebuah lomba lari.
Ia mengatakan ketentuan layanan medis di lomba lari maraton sudah tertuang dalam pedoman yang dikeluarkan oleh badan atletik dunia.
“Medical services itu (harusnya) setiap 2,5 km.
Setiap water station itu ada medical services-nya, ada petugas medisnya.
Tapi yang ada, itu setiap 5 km, ada yang 10 km, ada yang 42 km, ambulansnya cuma tiga sampai lima, jadi tidak banyak,” paparnya.
Di setiap tenda atau titik layanan medis dan stasiun air, Andi menganjurkan agar petugas medis senantiasa siap siaga.
Berdasarkan pengalamannya, ia juga akan memberi pelatihan sehingga para petugas medis memang berkualifikasi dan memiliki kemampuan serta memahami yang harus dilakukan jika menemukan pelari pingsan.
Selain petugas medis, kelengkapan alat-alat medis seperti alat kejut jantung atau automated external defibrillator (AED) juga penting untuk disiapkan di setiap tenda medis.
“Perlengkapan-perlengkapan yang ada di medical station juga harus lengkap, ada oksigen, ada kejut jantung, dan sebagainya.
Itu semua sudah ada di World Athletic dan tinggal ceklis saja sebetulnya.
Pertanyaannya, management organization mau tidak spend untuk itu,” kata Andi.